Cinta Kasih Sesama: tanpa judul

tanpa judul

Telapak kakiku dengan berat melangkah di atas lantai stasiun kereta api yang basah karena rintik-rintik hujan yang saat ini masih berjatuhan, aku terdiam sejenak, langit hitam hari ini ikut mengoyak hatiku yang sudah dari tadi terasa perihnya sekarang hancur menjadi jutaan keping bagian dan terasa begitu mengganggu. Aku ingin segera mengeluarkan dan membuangnya, aku bisa mati jika merasakan sakit ini seumur hidup.
Aku mencoba untuk menerawang ke sekitar, melihat orang-orang yang hilir mudik di depanku tetap tidak dapat membuat pikiranku beralih sedikitpun, kututup payung biru tuaku yang basah terkena rintikan air kemudian aku kembali berjalan menuju loket terdekat membeli selembar karcis untuk keberangkatanku ke kota itu, -tempat dimana aku menghabiskan masa kecil dan masa remaja yang tak akan pernah hilang dari benakku-. Hari-hari menyenangkan dimana aku masih hidup bersama orang tua dan memiliki banyak teman untuk menghabiskan hari dengan bersenda gurau dan bermain sampai puas. Aku menunjukkan senyum simpul di wajahku ketika berbicara dengan petugas loket, namun pandanganku tak melihat kemana pun, hanya pandangan kosong, aku bahkan sempat beberapa saat tidak mendengarkan apa yang petugas itu ucapkan hingga aku memintanya untuk mengulangi kembali apa yang dikatakannya barusan.
Aku sudah mengambil cuti untuk 2 hari, setelah sampai di kota itu aku akan langsung menemui kedua orang tuaku,
Dan kemudian……..
menemui dia.
Dia adalah teman semasa kecilku, aku ingat pertama kali bertemu dengannya ketika kami berumur 10 tahun. Dia selalu mengumbar senyumnya yang dapat membuatku melayang seketika, senyum terindah yang tidak pernah aku lupakan seumur hidupku.
Aku akan bertemu dengan dia, segera.

“Kenapa pindah kesini? Aku mau ketemu teman-temanku yang dulu. Papa mama jahat!”
Ibuku yang masih sibuk memindahkan barang dari dus-dus menatapku dengan kasihan yang menangis di sudut ruangan, tangisan ini tidak berhenti sejak semalam sebelum kami meninggalkan rumah yang lama. Ia kemudian menghampiri tempatku mengasingkan diri lalu memeluk tubuhku yang masih kecil itu ke pelukannya, beliau dengan sabar mengusapnya dengan lembut sambil berbisik dengan pelan di telingaku, “Dilan sabar ya, papa sedang ada masalah. Kita tidak bisa tinggal di tempat yang dulu lagi.” Kata beliau tetap tenang walaupun tangisanku semakin menjadi.
“Kenapa papa buat salah? Itu salah papa, sekarang bawa Dilan pulang! Di sini bukan rumah Dilan!!!”
Aku tetap menangis dan berteriak sekuat tenaga sampai terdengar suara langkah kaki yang berat berjalan menghampiri kami, ayahku kemudian muncul dari sisi pintu dan menatap tajam aku yang sedang menagis tersedu-sedu. Beliau lalu berjalan ke arahku kemudian menarik lenganku dengan kasar dan membentakku, “Berhenti menangis atau kubuang kau ke jalan!”
Aku langsung menggigit bibir bawahku dengan kuat, aku sangat ketakutan dengan sikap ayahku yang tiba-tiba menjadi kasar. Padahal dulunya beliau adalah orang yang sangat baik, ia selalu mengajakku jalan-jalan atau membelikan mainan baru untukku. Aku mencoba sekuat tenaga untuk menahan air mata dan suara tangisanku tapi tetap saja tidak bisa, justru tangisan ini ingin meledak hingga aku cegukan karena menahan kesedihan yang begitu mendalam.
Ibuku kembali ke sisiku dan memeluk tubuhku yang gemetaran, ia mengusap kepalaku dengan lembut dan meminta ayah untuk menurunkan intonasi suaranya.
“Kita diusir dari rumah kita yang lama karena aku dituduh menyantet orang lain? Bagaimana aku bisa tenang ma!?” bentak ayahku penuh kemarahan sama sekali tidak memelankan suaranya di hadapan kami. Ibuku akhirnya kehilangan kesabaran dan kembali membentak ayahku yang berdiri di depannya, mereka berdua kemudian bertengkar hebat.
Aku sudah tidak kuat dengan athmosfer yang mencengkram itu hingga aku melepaskan pelukan ibuku dan berlari keluar, ibuku berusaha memanggil tapi aku tetap berlari menjauh dari tempat itu. Aku tidak mau mendengar suara mereka yang sedang beradu pendapat hingga membuat telingaku sakit dan mendengung. Aku kemudian terduduk dengan lemas di bawah pohon rindang yang tidak jauh dari rumah, dan kembali menagis sekencang-kencangnya.
Tidak beberapa lama tiba-tiba aku merasakan ketukan kecil di kepalaku, aku berhenti menangis dan melihat apa yang baru saja mengenai kepalaku hingga membuatnya sedikit nyeri. Sebuah miniature mobil-modilan kecil tergeletak di sebelah tempat aku duduk.
“Kenapa nangis di sini? Aku lagi tidur siang nih!”
Tiba-tiba sekilas terdengar suara dari atas pohon, aku kemudian mengangkat kepalaku sedikit keatas untuk melihat siapa yang baru saja berbicara.
“Kamu anak mana? Kok aku gak pernah liat kamu?” bocah laki-laki itu kemudian turun dari pohon dengan lincahnya seperti anak monyet. Lututnya di baluti banyak plester yang menandakan kalau dia anak yang banyak tingkah hingga sering jatuh dan terluka. Dia kemudian duduk di sampingku dengan santai, “Ih anak cowok kok nangis, cengeng ah!”
Mukaku langsung cemberut dan aku langsung menyeka air mataku dengan lengan baju biru yang kukenakan, “Kalau kamu jadi aku juga bakal nangis!” kataku tidak mau kalah.
“Memangnya kamu kenapa?”
“Papa ajak aku pindah ke sini, padahal temanku banyak di rumah yang dulu. Aku tadi juga dimarahi.” Jawabku sedikit terbata-bata, air mataku mulai mengalir lagi.
“O…aku gak tau gimana rasanya dimarahi papa, papaku udah mati.” Katanya tanpa beban sambil mengutak-atik sandal jepit Spider Man yang ada di kedua kakinya.
Aku menghentikan tangisanku, jadi dia sudah tidak punya ayah? Apa anak yang tidak punya ayah bisa sabar begini ya? “Papamu mati kenapa?”
“Gak tau, nenek yang bilang gitu.”
Aku hanya diam, gampang benar dia ngomong…membuat aku benar-benar iri padanya. Dia anak yang berjiwa lapang. Dia kemudian menatap mataku yang merah karena tangisan, dia tersenyum kemudian menggandeng tanganku.
“Bisa manjat gak? Aku ada rumah pohon di atas.” Katanya sambil menunjuk kayu-kayu yang ditata sedemikian rupa di atas pohon.
“Begituan namanya rumah pohon?” tanyaku heran karena setahuku rumah pohon itu bentuknya seperti “rumah”, bukan kayu yang dijejer horizontal di sela-sela batang pohon seperti itu.
“Cerewet ah, naik aja sini sampai papamu berhenti marah.” Katanya setengah ogah-ogahan sambil meraih tanganku dan menuntunku naik ke atas. “Oh iya, nama kamu siapa?”
“Dilan.”
“Kenalin, aku Aditya.”

Disanalah awal pertemuanku dengan Aditya, aku selalu berkunjung ke rumah pohonnya ketika mendapat masalah ataupun sekedar untuk menyapa dan dia selalu berada di tempat itu tanpa absen sedikitpun. Dia sangat mencintai rumah pohonnya sampai-sampai saat sakit pun dia tetap menyempatkan diri untuk sekedar menjenguk rumah yang seperti memiliki nyawa dan membutuhkan kasih sayang serta perhatian, dasar bocah aneh!
Kami berdua pun jadi sahabat baik dan memahat nama kami di batang pohon itu “Aditya & Dilan” sebagai tanda bahwa rumah pohon ini adalah tempat kekuasaan kami, tak boleh ada anak lain yang menempati rumah pohon ini selain kami berdua.
Aku tersadar dari lamunanku ketika mendengar pengumuman kedatangan kereta yang kutunggu dari Loadspeaker yang ada di stasiun ini, kemudian mengangkat tas yang kubawa di tangan kananku dan berjalan menuju tempat dimana kereta tersebut akan berhenti sejenak. Pandanganku tetap kosong hingga aku mendengar sepasang muda-mudi yang ngobrol dengan mesranya di sampingku. Aku sedikit terganggu hingga mengambil beberapa langkah menjauh dari mereka, setelah suara yang lebih menggangguku daripada suara deru kereta itu sudah tidak terdengar lagi aku kembali teringat pada Aditya pada saat ia pacaran pertama kali dengan seorang gadis. Pasangan tadi membuatku kembali teringat padanya.
Aku ingat saat kami SMP, rumah pohon itu tetap menjadi tempat favorit kami untuk menghabiskan waktu. Namun tidak lama setelahnya Aditya mendapatkan gadis yang dia incar sejak awal tahun pertama kami menduduki SMP, kami berdua sudah tidak lagi menghabiskan waktu sesering dulu setelah itu.
“Lan, boleh pinjam motor gak?”
“Buat apaan?”
“Mau jemput Wenny, tadi pagi motorku dijual.”
“Emang kamu ngapain aja sampai dijual gitu?”
“Buat bayar utang nenekku, gak asik nih aku jadi ikut-ikutan kena getah.”
“Ya udah, tuh kuncinya di kamar.”
“Tapi gak apa ya uang bensinnya gak bisa ku ganti, melarat bener kawan.”
Aku meutup buku Fisika yang kugunakan untuk belajar saat ini dengan keras lalu memandang Aditya yang sedang memelas di depanku. Kalau udah jemput ceweknya si Wenny itu tuh pasti gak bakalan cuma jemput aja. Pasti ada acara jalan-jalannya and mereka malas jalan kaki, ujung-ujungnya motor kesayanganku yang dipakai mutar-mutar sampai bensinnya habis.
“Sebenarnya aku males minjemin tuh motor ke kamu, perhatiin dikit kek bensinnya.” Aku mulai kesal dengan tingkahnya yang tidak perdulian kemudian dengan cepat aku meninggalkan tempatnya berdiri menuju dapur.
Aditya mengikutiku dari belakang.
“Pleaseee….kali ini ku sisain setengah deh. Aku gak bisa batalin janji ke Wenny.” Kata Aditya dengan jurus ampuhnya untuk meminta belas kasihan.
Sebenarnya aku tidak keberatan kalau dia pinjam motor, cuma sebal aja dia makainya buat senang-senag sementara dia tidak mikirin penderitaanku yang harus beli bahan bakar yang maaf saja sekarang mahalnya bener-bener hampir diluar jangkauan!
“Kok diem aja sih Lan, ngomong dong!” dia tetap mengikutiku dari belakang walaupun aku tidak mengubris perkataannya sama sekali. “Ku pakai Cuma 1/3 deh, eh gak 1/4. Pleaseeeeee~”. Dia tetap ngotot minjam motorku dengan iming-iming ngehemat bensin plus dengan sikap kekanak-kanakannya.
Aku menghabiskan tegukan terakhir dari air mineral yang kuminum kemudian membuang nafas panjang, “Ya udah tuh, ambil saja di kamar.”
Ia mendapat kelemahanku, aku tidak bisa tidak memperdulikan dia lama-lama kalau sudah bertingkah seperti itu. Kayaknya mulai sekarang aku harus les private cara ngatasin jurus ampuh dia dengan sekali kibas.
“Makasih ya kawan, gak lama kok cuma jemput dia doang. Kalau gak dijemput pasti kena marah.” Katanya sambil berlari menuju kamarku.
Aku hanya cuek saja dan berjalan ke ruang tamu, gara-gara dia aku kehilangan semangat belajarku dan kepingin tiduran aja. Aku rebahkan tubuhku di sofa ruang tamu yang berwarna merah dan empuk itu sambil meregangkan tubuh. Ugh…sampai tulangku bunyi semua karena tadi cuma duduk saja saat belajar.
Samar-samar aku mendengar suara mesin motor dari garasi dan dengan cepat suara itu pun menghilang. Aku yakin sekarang Aditya kelabakan mau jemput cewek manjanya itu dengan segera kataku dalam hati dan kemudian menutup mata yang sudah terasa berat seperti digantungi beban sekilo ini.
Rasanya belum lama aku memejamkan mata tapi aku sudah terbangun lagi dari tidurku karena aku merasakan kakiku dipindahkan dari posisi awal oleh seseorang. Ternyata itu adalah Aditya.
“Udah jemput si Wenny? Cepat amat.” tanyaku sambil menguap.
“Wenny tadi udah pulang duluan gara-gara aku kelamaan.”
“Hahahaha…mampus, udah girang sendiri ngacauin aku, eh….sampe sana orang yang mau dijemput dah minggat. Udah mikir mau jadi jelangkung kali tuh cewek kamu, pake gak dijemput gak diantar.”
“Tega bener sama teman sendiri dapat masalah sama ceweknya malah diejek. Itu kan salah kamu juga lama banget ngasih ijinnya” gerutu Aditya sambil menumpukan kepalanya pada tangan kirinya.
Aku hanya tersenyum saja dan akan kembali melanjutkan tidurku.
Tiba-tiba Aditya terperanjat dari tempat dia duduk kemudian berdiri di samping tempatku tidur.
“Kita aja yuk yang keluar, bosan nih di rumah!”
“Enggak, lagi puyeng, capek, lesu, mau tidur.”
“Gak asik banget ah, makanya jalan-jalan. Jangan diturutin tuh malesnya!” Aditya menarik tanganku agar aku mau mengikuti apa yang dia mau.
“Aku beneran mau istirahat. Kamu juga bisa jalan-jalan sendiri kan.” jawabku dengan kesal sambil menarik tanganku kuat-kuat.
Tiba-tiba Aditya kehilangan keseimbangan dan tangannya tetap menggenggam pergelanagn tanganku hingga dia jatuh sambil tertarik ke depan. “Waaa!” teriaknya ketika terjatuh hingga membuatku membuka mata yang tadi kupejamkan. Betapa terkejutnya aku ketika melihat wajah Aditya yang menempel lekat di mukaku, dan parahnya hal itu membuat kami tidak sengaja berciuman. Sh*t!

Aku duduk di kursi kereta dengan wajah yang memerah karena mengingat kejadian itu. Hal itulah yang membuatku berlahan-lahan menyukai Aditya, entah mengapa setiap melihat wajah terutama bibir atau tubuhnya membuat jantungku berdetak tidak karuan. Dia juga selalu tampak keren ketika bermain basket hingga banyak cewek yang menjadi fansnya dan memberikan sorakan histeris yang melengking membuat gigiku terasa berdenyit, dia selalu dikerubungi cewek-cewek dari seluruh tingkatan kelas seperti gula yang dikerubungi semut. Mungkin ini cuma perasaanku yang bertepuk sebelah tangan, karena setelah ciuman yang tidak sengaja itu sikap Aditya sama sekali tidak berubah sedikitpun. Jadi aku hanya bisa termenung menahan cemburu ketika banyak cewek-cewek yang menyukai dan berusaha mendekati dia yang bahkan beberapa diantaranya memeperlihatkan perjuangannya dengan terang-terangan. Tapi dia tetap menganggapku sebagai sahabat dan tidak tenggelam dalam kepopulerannya, dia selalu berada di sisiku dimanapun baik itu di rumah, sekolah atau di tempat lain.
“Lan, makan yuuk~”
“Mana Wenny? Tumben gak bareng dia.” Tanyaku sambil membolak-balik lembaran buku tulis yang kupegang saat jam istirahat baru saja dimulai.
“Hari ini dia ada kerja kelompok bareng temannya aku disuruh duluan. Kita makan bareng Gilang cs aja.”
“Kamu aja deh, tadi sarapan aku dah nambah 2 kali.”
“Buruan Lan, udah laper nih.” Tiba-tiba Gilang sudah ada di belakang Aditya sambil memegangi perutnya yang keroncongan.
“Kalian makan aja ke kantin, aku di sini aja masih kenyang soalnya.”
“Ya udah, yuk ke kantin Dit.”
“Gak, pokoknya Dilan harus ikut dulu. Dah yuk Lan, makan dikit juga gapapa yang penting kamu ngikut.” Ajak Aditya sambil mengambil buku yang kupegang, menutupnya kemudian menaruhnya di depanku.
“Udah dibilangin aku masih kenyang. Kamu dah pergi saja sana, hus hus.”
“Gak pokoknya kamu ikut!”
“Enggak!”
“Ikut!”
“Enggak!”
“IKUUUT!”
“Engaaaak!”
“Wowowowow…sabar bro. Kalian berdua gak usah panas kayak gitu.” Gilang menyela pembicaraan kami. “Dit kamu perhatian banget ama Dilan, kayak orang pacaran aja hahahaha.” Gilang ketawa ngakak di hadapan kami.
“Enggak lah, dia aja tuh yang aneh-aneh! Kan bisa pergi sendirian.” Aku menjadi salting dan mukaku menjadi merah gara-gara perkataan Gilang tadi (padahal yang diajak bicara itu Aditya, malah aku yang buru-buru nyela duh!). Aku mengambil bukuku yang tadi sudah ditutup dan membukanya lagi kemudian pura-pura sedang membaca, tapi mereka berdua tetap melihatku dengan pandangan aneh hingga membuatku semakin salah tingkah.
“Eh Dit aku gak ngerti sama soal yang ini, kamu tau gak?” tanyaku mencoba menghilangkan suasana kaku diantara kami.
Aditya tertawa sebentar kemudian memegang bukuku.
“Ya jelas lah, bukunya harus di balik dulu baru kamu ngerti!” katanya dengan enteng sambil membetulkan posisi bukuku yang terbalik.
Meraka berdua kemudian ngakak bersama-sama membuatku merasa menjadi semakin konyol dihadapan mereka. Aku benci dengan diriku yang mudah sekali menjadi gugup, terlihat dengan jelas sekarang kalau aku memang sedang salah tingkah.

Aku tersenyum kecil ketika mengingat kejadian itu, pasti saat itu aku terlihat seperti badut yang ketahuan sedang maling pakaian dalam. Aaaaah benar-benar bikin malu!
Tiba-tiba hidungku tersa berair, aku merinduakn Aditya dan benar-benar ingin bertemu dengannya. Hatiku rasanya berat dan hampir menumpahkan tangisanku seketika itu juga. Tapi aku tetap menahannya, malu harus menangis di tengah-tengah kereta yang rame ini.
Selain saat-saat manis bersama Aditya kami pun punya saat-saat dimana kami bersitegang. Aku ingat saat itu ketika kami berdua akan menghadapi ujian kelulusan SMP. Itu adalah salah satu dari sekian banyak pertengkaran kami, tapi pertengkaran yang kali itu sungguh sempat membuatku stress lamaaa sekali.
Ketika itu aku sedang jalan-jalan sore di sekitar kompleks perumahanku, aku bosan seharian tinggal di rumah karena hari ini adalah hari Minggu. Tadi aku ngajak Aditya untuk menghabiskan minggu ini tapi dia menolak, katanya sih dia lagi ada keperluan sama nenaknya. Ya sudahlah, akhirnya aku hanya menghabiskan Minggu-ku dengan main game seharian, tapi aku kurang punya banyak ketabahan untuk menumbuhkan lumut di rumah dan memutuskan jalan-jalan keluar. Sore ini terasa begitu panas hingga aku memutuskan untuk pergi ke taman yang berada di dekat sekolah untuk melatih skill futsalku, di sekitar situ pula ada tempat penyewaan komik hingga aku bisa mampir untuk meminjam beberapa buku kalau sempat. Aku mulai memasuki wilayah taman dan merasakan angin sepoi-sepoi yang menggelitik tubuhku, sungguh nyaman berada di sini. Aku menjatuhkan bola yang kupegang di tangan dan mulai menendangnya kearah pohon besar yang ada di depanku.
Sebagai seorang offense tentu saja aku harus meningkatkan skill menendangku secara continue karena itulah aku dapat mempertahankan posisi ini. Lagipula futsal itu adalah hobby-ku jadi aku bisa menikmati setiap latihan yang kujalani tanpa harus merasa terbebani.
Aku menendang setiap bola dengan penuh konsentrasi hingga membuatku lama-kelamaan merasa gerah dan kehausan, lelah karena bermain bola dan cuaca terik yang mendukung membuat aku dengan cepat dehidrasi. Kuputuskan berhenti beberapa saat dan mencari minuman dingin, aku mengangkat bola yang tergeletak di depan pohon yang kujadikan object latihan kemudian mulai berjalan mengelilingi taman.
Setelah mencarinya dengan susah payah akhirnya aku menemukan pedagang kaki lima yang menjual es kelapa muda, membuatku langsung ingin meneguk minuman itu sesegera mungkin. Es kelapa muda yang kupesan tiba dalam beberapa menit, dan tanpa basa basi aku langsung menghabiskannya dengan cepat. Haaaaaah…..memang tak ada yang lebih segar daripada minuman dingin setelah kehausan setengah mati seperti tadi. Aku kemudian menyendok daging kelapa muda yang tertinggal dengan sendok sambil melihat-lihat sekitar dan mobil yang berlalu lalang. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada seseorang yang tidak asing yang sedang duduk di warung mi ayam yang ada di sebelahku.
Itu Aditya dan kemudian aku menyadari Wenny juga ada duduk di sebelahnya.
‘Jadi itu keperluanmu dengan ‘nenek’-mu? bilang saja kalau kamu punya keperluan dengan si Wenny dan lebih suka menghabiskan waktu sama dia. Tidak usah pakai bohong segala!’ gumamku kesal dalam hati.
Aku terus memandangi mereka tanpa berkedip sedikitpun, Aditya menikmati waktu-waktunya bersama Wenny dan mereka terlihat begitu mesra. Aditya menyuapi Wenny begitu pula sebaliknya, ada candaan kecil di sela-sela kemesraan mereka dan tangan mereka berdua pun bersimpul dengan eratnya.
Mereka berdua memiliki perasaan yang sama.
Hatiku terasa panas, aku mencoba untuk tidak perduli dengan apa yang aku lihat. Aku sudah beberapa kali memalingkan perhatianku kepada hal lain namun dengan segera perhatianku berbalik lagi pada mereka berdua ketika mataku tidak sengaja menangkap gerakan-gerakan atau suara kecil yang mereka buat. Aku benar-benar tidak bisa menikmati sisa kelapa muda yang ada di depanku dan akhirnya aku pun memutuskan untuk membayar es yang kupesan dan segera meninggalkan tempat itu. Aku sangat membenci Aditya ataukah aku yang terlalu cemburu? Hubunganku dengan Aditya bukanlah apa-apa selain sahabat. Ia memiliki hubungan dengan Wenny tapi kenapa seakan-akan aku merasa kalau Aditya sedang berselingkuh dengan orang lain? Wenny itu adalah pacarnya dan dia berhak untuk berbagi kasih sayang dengan dia, so, harusnya aku bisa menerimanya dengan lapang. Tapi hatiku menolak, aku mencintai Aditya dan ingin menjadikannya hanya untukku. Tak ada orang lain yang boleh berbagi kasih sayang dengannya selain aku, hanya aku!!!
Akhirnya kutinggalkan tempat itu dengan gontai tanpa semangat sama sekali. Aku berharap segera tiba di rumah dengan cepat, menjauh dari tempat Aditya dan si perek itu sekarang juga.

“Lan kok diem aja?”
Aku memasukkan semua buku pelajaran setelah jam sekolah selesai. Aku tidak memperdulikan apa yang Aditya katakana dari tadi pagi, aku masih tidak dapat menerima kebohongan dan apa yang kulihat kemarin karena rasa cemburu masih bersarang dihatiku. Aku kemudian menutup resleting ranselku dan meninggalkan bangku tempat aku duduk tanpa ada sepatah katapun.
“Kamu kenapa sih? Marah sama aku?” Aditya menarik tanganku ketika aku beranjak pergi darinya.
“Tidak.” Aku melepas genggaman Aditya dari lenganku dan kembali berjalan keluar. Aku sudah tidak memiliki niat sedikitpun untuk tinggal di dekat Aditya lebih lama lagi. Namun Aditya tetap berjalan mengikutiku dari belakang sambil tetap mengoceh-ngoceh tidak jelas.
“Bo’ong! Terus kenapa seharian kamu gak ngomong sama aku? Padahal tadi sama Gilang dkk kamu masih ngebalas omongan mereka.”
“Gak tau ah, gelap.”
“Ngomong aja Lan, aku punya salah apa?”
“Gak ada.”
“Aku bakal tetap ngikutin kamu sampai kamu mau ngomong.” Ujarnya dengan keras kepala.
“Dibilangan gak ada ya gak ada! Aku lagi males liat muka kamu jadi sekarang mending kamu pergi aja!” bentakku karena aku sudah kehabisan kesabaran.
Aditya terdiam, dia tidak melanjutkan perkataannya tapi dia tetap mengikutiku dari belakang sampai aku tiba di depan rumah.
“Mending sekarang kamu pulang aja, please Dit.” Mohonku karena setiap berada di dekat Aditya hatiku terasa begitu sakit. Mungkin ini masalah sepele kalau saja aku bisa menguatkan hati sendiri dan mencoba bersabar melihat dia pacaran dengan Wenny, tapi tidak bisa. Cinta Aditya sudah untuk orang lain dan bukan untukku. Aku tidak kuat menahan perasaan cemburuku sendiri.
“Kasih tau dulu aku salah apa.” Katanya dengan pelan di balik pintu pagarku.
“Salah kamu? Kamu terlalu deket sama aku. Aku udah bosan temenan sama orang yang sok baik yang ternyata ada maunya.” Hatiku terasa sakit ketika mengatakan hal itu, aku mengungkit-ungkit kalau dia berteman denganku cuma untuk meminjam uang dan barang yang tidak dimilikinya, walaupun aku tau kalau Aditya tulus berteman denganku. Aku hanya menginginkan Aditya untuk pergi sekarang juga, rasanya begitu sakit berada di sisi seseorang yangmana kita tidak memiliki kesempatan menjadi sesuatu yang kita inginkan untuknya. Aku mau jadi pacar Aditya, tapi dia sudah memiliki pacar dan dia adalah s8, aku tidak dapat memaksakan perasaanku padanya, sebaiknya aku menjauh den mengharapkan dia hidup bahagia.
Aku menutup pintu rumahku dan mengintip Aditya dari balik gorden jendela, cukup lama dia berdiri di sana sampai akhirnya dia pergi dari meninggalkan tempatnya berdiri.
Aku kemudian terduduk lemas di sofa ruang tamu, kepalaku berat dan perasaanku tidak enak.
Aku tidak tau apa yang akan terjadi pada kami setelah ini.
Sejak saat itu Aditya tidak pernah lagi menyapaku,d ia bahkan pindah bangku yang awalnya berada di depanku kini menjadi bersebrangan 2 bangku jauhnya. Setiap berpapasan atau tidak sengaja terperangkap menjadi 1 kelompok belajar dia selalu memalingkan wajah atau pura-pura tidak mengenalku, teman-teman juga heran dengan perubahan sikap kami tapi aku lebih memilih untuk tetap diam, tidak mungkin aku memberitahu mereka kalau aku suka Aditya dan cemburu sama Wenny. Aku tau dia tersinggung dengan sikapku yang kasar dan ini memang salahku. Seandainya selama-lamanya aku hanya memiliki perasaan untuk menjadi temannya pasti tak akan berakhir seperti ini. Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin ada kejadian dimana aku tidak sengaja berciuman dengan Aditya, atau jika hal itu tidak bisa dihentikan juga aku berharap agar sejak awal aku tidak pernah bertemu dengannya, tidak pindah ke kota ini ataupun tidak bertemu dengannya di rumah pohon. Hari-hariku sekarang menjadi suram hingga kelulusan SMP kami, kami berdua tetap menyimpan ego masing masing tanpa ada satupun yang mengalah atau mengajak berbaikan terlebih dahulu.
“Pa, ma, Dilan mau lanjutkan SMA di kota. Mulai sekarang Dilan mau kosan dan hidup mandiri.” Kataku ketika kami sekeluarga sedang bersantai di ruang tamu.
“Tidak terlalu cepat Lan? Kalau nunggu kuliah nanti aja, gimana?”
“Tidak ma, Dilan sudah memikirkannya matang-matang dan sekarang tekad Dilan sudah bulat, teman Dilan juga sudah ngajak waktu kelulusan. Dilan juga diterima magang kalau sudah sampai di kota.” Aku memberitahukan hal yang sebenarnya pada orang tuaku tentang tawaran berkerja dan niatku untuk tinggal di kota, lagipula selain dapat menikmati hidup baru aku bisa menjauh dari Aditya. Karena aku dan dia tinggal sebagai tetangga, jadi mungkin aku tidak dapat menghapus bayangnya jika aku tetap terus tinggal di sini.
Orang tuaku memberi izin dan aku benar-benar meninggalkan kota itu. Aku menjalani hidup baru dan menikmati masa SMA-ku tanpa kendala yang berarti. Berlahan-lahan aku mulai dapat menghilangkan gambar potret Aditya dari bingkai yang ada di pikiranku. Sekarang aku bisa hidup dengan tenang dan aku bahkan memiliki seorang kekasih di sini, namanya Ryan. Kami bertemu di tempat magang, dia memiliki profesi yang sama denganku dan kami mulai dekat. Setelah mengetahui rahasia kami masing-masing(bahwa dia adalah Gay begitu pula denganku) akhirnya aku bisa menyukai sosoknya sedikit demi sedikit. Kemudian kami berdua menjadi kekasih karena merasa memiliki banyak kecocokan. Kencan pertama, ciuman pertama hingga persetubuhan pertamaku kulakukan bersama Ryan, aku benar-benar mencintai dia.
Saat menjelang kenaikan kelas 3 SMA aku mulai merindukan kedua orang tuaku. Sejak aku pergi ketika kelulusan SMP itu aku sudah tidak pernah mengunjungi kota-ku lagi untuk sekedar menghabiskan hari libur panjang atau iseng pulang kampung. Tempat aku berkerja adalah gudang penyimpanan minuman dan bosnya benar-benar pelit, kami semua jarang diberi libur meskipun gajinya lumayan.
“Yan, Jumat malam nanti aku mau jenguk ortu nih lama banget gak ketemu mereka.”
“Kangen ya say? Udah dikabarin belum ortunya?”
“Udah…kamarku saja udah diberesin hari ini.”
“Aku bakal kesepian nih kamu pergi, weekend jadi sepi.”
“Hehehehe…gak lama kok say, Minggu malam aku udah pulang. Gak nahan juga lama-lama misah sama kamu.” Celotehku sambil mengganti channel TV.
“Ok, pokoknya rajin angkat teleponku ya, jangan lupa makan yang bener.” Ryan mendekat ke tempat aku duduk dan mencium keningku penuh perasaan. Aku suka dengan sikap Ryan yang begitu perhatian padaku dan romantisme yang selalu dihadirkannya diantara kami berdua. Aku benar-benar beruntung bertemu dengan dia.
Beberapa hari kemudian hari yang sudah kutunggu tiba, barang-barang kukemas dengan rapi di dalam beberapa tas yang akan kubawa berserta oleh-oleh untuk kedua orang tuaku. Aku akan kembali ke rumah orang tuaku yang artinya aku akan bertemu Aditya lagi, sekarang aku sudah tidak perduli dengannya. Aku sudah punya Ryan yang mencintaiku di sini dan tidaak perlu menyimpan harapan terhadap Aditya lagi seperti dulu. Hatiku terasa ringan setelah memikirkannya, lagipula sebelum kelulusan SMP kami berdua sudah tidak saling bicara jadi aku hanya perlu nyuekin dia kalau kami tidak sengaja bertemu.
Ryan mengantarku sampai ke depan stasiun kereta dan membantuku mengangkat tas-tas yang akan kubawa. Dai bahkan mengantarku masuk dan menemaniku menunggu kereta sampai kereta yang akan kutumpangi itu tiba di stasiun, kapan lagi aku bisa bertemu orang sebaik dia?
“Dah! Miscall saja kalau udah nyampe, nanti langsung ku telfon!” Ryan melambaikan tangannya ke arahku dari balik jendela, aku tersenyum dan membalas lambaiannya. Kereta mulai bergerak berlahan-lahan dan Ryan tetap mengikutiku sampai kereta itu berjalan dengan cepat dan tidak terkejar lagi olehnya. Aku cuma tersenyum kecil melihat sosok Ryan yang makin lama makin mengecil dari pandanganku dan kemudian menghilang. Wah 2 hari ini pasti bakal serasa seabat tanpa dia.

Aku membuka pintu pagar rumahku dengan hati-hati ketika aku telah sampai di depan rumah. Suara deritan gembok pagar mengagetkan ibuku yang sedang sibuk dengan pot tanaman Anthuriumnya.
“Ma…Dilan pulang.”
“Aduh…Lan, sekarang sudah tambah besar. Tambah cakep saja anak mama ini.” Ibuku dengan penuh haru memelukku dengan cepat ketika aku berjalan menghampiri beliau. Sekarang ibu cuma setinggi bahuku padahal dulu aku dan beliau sama tinggi hehehe. Aku membalas pelukan ibuku dengan erat, aku juga sangat merindukannya.
Aku kemudian berjalan ke halaman belakang dan menemukan ayahku yang sedang memberi air pada tanaman mangga yang ia pelihara. Aku menghampirinya dan mencium tangannya.
“Mama sudah masak banyak buat kedatangan kamu. Ayo makan dulu, udah lewat jam makan siang.” Ibuku menuntun aku ke dapur dan membuka tudung saji yang sedang berada di atas meja. Ada rawon, ikan dan ayam goreng, sup, nasi, dan lalapan kini terhidang di depanku.
“Makan yang banyak Lan.”
Aku kemudian mengangguk dan duduk di kursi makan, aku mengambil nasi dan lauk yang kusuka ke dalam piringku. Ugh….masakan ibuku emang udah gak ada yang nandingi! Aku makan dengan lahap sampai dadaku terasa sesak oleh makanan yang kumakan dengan tergesa-gesa. Aku merindukan aroma dan rasa masakan ibuku, beda dari yang lain, top abis!
“Pelan-pelan dong Lan, ayamnya udah gak bakal lari.”
“Hahahaha…enak banget ma, Dilan sampe gak kerasa udah makan cepat-cepat.”
“Syukur deh Dilan masih suka masakan mama, di kota kan banyak makanan enak-enak. Siapa tau Dilan sudah gak suka masakan mama lagi.”
“Gak mungkin lah ma, kalau perlu masakan mama tiap hari dikirim kilat aja ke kota. Dilan mau kok makan masakan mama setiap hari biarpun jauh.” Kataku sambil menambah sendokan nasi.
“Bilang aja mau hemat uang jajan. Ketahuan yaaa.”
“Hehehe… “(eh iya.)
“Mama mau bantu papa di halaman belakang, Dilan lanjut saja makannya ya, kalau capek mau langsung tidur juga gak papa. Kamarnya udah rapi.” Kata ibuku sambil beranjak dari kursi lalu berlalu ke pintu belakang.
Aku menghabiskan makananku kemudian mencuci piring kotor yang sudah kupakai makan tadi. Setelah kenyang rasanya ngantuk banget, aku kemudian berjalan menuju kamarku ketika tiba-tiba ada yang ngetuk pintu. ‘Sapa tuh.’ Tanyaku dalam hati sambil membuka pintu depan. Aku terkejut ketika melihat tamu yang tadi mengetuk pintu depan rumahku, mukanya masih sama seperti saat kita di SMP dulu, cuma sekarang terlihat lebih dewasa.
‘Aditya?’
“Mat datang di sini lagi Lan.”
Aku melihat muka Aditya sebentar lalu menunduk. Padahal tadi sudah kepikiran gimana ngehadapin Aditya kalau tiba-tiba kita gak sengaja ketemu and masih diem-dieman, tapi gak, sekarang dia sudah mau ngomong lagi sama aku sampai pakai acara nyamperin segala.
“Makasih Dit, lama gak ketemu.”
“Kok kamu pindah gak bilang-bilang aku sih? 1 bulan abis lulus aku baru tau kalau kamu udah gak tinggal di sini lagi.” Waw…Aditya langsung to the point.
“Maaf Dit, aku ngikut Deka ke kota lanjutin SMA sambil kerja. Kalau tinggal di sini terus gak bakal maju-maju.”
“Tapi kan setidaknya kasih tau aku kek kalau mau minggat.”
“Iya maaf deh.”
“Aku datengin rumah kamu dulu tapi kata mama kamu ‘Dilan udah ke kota, gak kabarin ke kamu ya?’. Apa artinya aku Dil, kamu mau pindah saja tidak kasih tau aku. Aku kehilangan kamu banget, tau gak?”
“Waktu itu kan kita diem-dieman! Kamu lupa!?”
“Ok. Aku inget. Sekarang kasih tau kenapa waktu itu kamu diemin aku?”
Aku cuma nundukin kepala, gak berani lihat wajah Aditya secara langsung. Masak aku bilang yang sejujurmya?
“Gak apa-apa. Cuma aku mikir aja baiknya kita dah gak temenan.”
“Aku selalu nginget apa yang kamu bilang Lan, waktu kamu marah-marah ke aku sambil bilang kalau aku cuma pura-pura baik sama kamu karena ada maunya.”
Aku tetap pada posisi mematungku, maaf Dit bukan maksudku ngungkit-ngungkit masalah ‘parasit’ kamu waktu itu. Aku cuma pengen kamu pergi soalnya aku gak kuat nahan cemburu yang bakal tambah ngegerogotin hati aku kalau tetap gak jaga jarak sama kamu.
“Iya benar Lan, aku memang ada maunya.”
Aku kaget ketika tiba-tiba Aditya menarik tanganku menuju tempat yang sepi di dekat kebun singkong yang berada di sebelah rumahku.
“Dit, tunggu bentar. Apa maksudnya nih.”
Aditya berhenti dan melepaskan tangannya dari pergelangan tanganku.
“Maaf Lan, aku memang ada maunya berteman sama kamu.”
Aku menunjukkan wajah yang sedikit terganggu pada Aditya, dia nyeret aku kasar banget sampai pergelangan tanganku sakit.
“Gak tau ah, aku mau pulang.” Aku kesal dengan perlakuannya dan kemudian membalikkan badanku lalu berjalan menjauhi Aditya.
“Lan, aku emang berteman sama kamu karena aku cinta and ngeharap bisa jadi pacar kamu.”
“……….Maaf ya.”
Aku langsung terhenti dari langkahku, ‘Apa? Apa gak salah denger nih kuping? Aditya tadi bilang suka sama aku? Bener gak sih?’ aku begitu terkejut hingga tidak tau haru bereaksi gimana.
“Aku ngerti kamu ngejauhin aku karena kamu tau aku ini Gay dan incaranku itu kamu. Kamu jijik kan punya temen kayak aku?”
Aku menelan ludahku dan mencoba memberanikan diri untuk melihat sosok Aditya yang berdiri tegap di belakangku.
“Sejak kapan…sejak kapan kamu suka aku?”
“Sejak waktu kita gak sengaja ciuman. Sejak itu aku gak bisa berhenti mikirin kamu.”
Aku hanya terdiam sambil memandang wajah Aditya yang terlihat gugup karena menunggu jawaban apa yang akan aku lontarkan padanya. Aku kemudian berjalan mendekati Aditya dengan pelan dan menghentikan langkahku tidak jauh dari hadapannya.
“Tapi waktu aku selesai latihan futsal aku lihat kamu yang kayaknya care banget sama Wenny, kamu bohong kan suka sama aku?”
“Gak Lan, awalnya aku takut sama perasaanku sendiri, aku pikir kamu itu cowok s8 yang gak bakal nerima aku kalau aku nyatain perasaan ini ke kamu. Jadinya aku milih berusaha lebih ngedeketin diri ke Wenny ngeharap kalau ni perasaan bakal hilang pelan-pelan. Tapi percuma, bukannya ngehilang dia malah tambah jelas. Aku takut kehilangan kamu Lan.”
Aku tidak mengalihkan pandanganku sama sekali dari mata Aditya, jadi itu usaha yang dia buat karena takut kutolak?
“Apalagi…tiba-tiba sikap kamu jadi dingin banget, aku pikir perasaan aku sudah ketahuan sama kamu jadinya kamu mutusin hubungan pershabatan kita. Kamu sebenarnya sudah tau gak sih aku ini suka sama kamu?”
Aku tetap tenggelam dalam pikiranku, jadi selama ini kita berdua punya perasaan yang sama? Jadi aku nahan sakit dan diem-dieman sama Aditya sampe hampir 2 tahun itu…gak ada artinya? Cuma salah paham? Kalau awalnya kita berdua lebih terbuka gak bakal jadi seperti ini. Sumpah! Sekarang aku ngerasa seperti orang paling bego sedunia!!!
“Lan, setelah denger ini…apa yang bakal kamu lakuin?” Aditya menanyaiku dengan setengah berbisik namun jelas sekali di telingaku kalau suara itu bergetar karena gugup. Aku mengepalkan tanganku erat-erat dan langsung berlari menuju Aditya dan memeluk tubuhnya dengan kuat.
“Aku juga suka sama kamu dari saat itu Dit. Kupikir kamu juga gak bakal nerima aku karena kamu itu udah pacaran sama Wenny, aku gak mau kamu jadi seperti aku jadi aku mutusin ninggalin kamu tanpa ngomong apa-apa.” Aku memeluk kuat tubuh Aditya seperti serasa tiada hari esok. Aditya membalasnya tak kalah erat hingga membuat nafasku sesak, sekarang perasaanku begitu ringan. Aku bisa mencintai Aditya dengan sebebas-bebasnya semauku mulai sekang karena Aditya juga memiliki perasaan yang sama. Aku tidak perlu lagi menyimpan perasaan yang mengambang terhadapnya, aku bisa mengekspresikan perasaan sukaku tanpa takut mendapat penialian buruk darinya.
Akhirnya cintaku terbalas setelah beberapa tahun kami menjalani salah paham yang menyakitkan.
Aku cinta kamu, Aditya.

Setelah itu aku pun menjalani hubunganku dengan Aditya, aku bahkan menunda kepulanganku beberapa hari hingga dimarahi atasan dan hampir dipecat. Tapi tidak apa-apa, aku bisa pulang kembali ke tempet asalku dan melanjutkan hidupku di sana, kan? Tapi diantara segala kebahagiaanku itu aku merasa tidak enak terhadap Ryan, aku sudah menghianatinya, dia mencintaiku sepenuh hati dan memberiku perhatian penuh kapan pun dan dimanapun aku butuhkan. Dia selalu meninggikanku walaupun sebenarnya aku ini rendahan, aku takut jika memutuskan hubunganku dengan dia maka dia akan menjadi depresi atau semacamnya. Akhirnya aku memutuskan untuk menjaga kedua hubunganku sebaik mungkin, aku tidak bisa meninggalkan mereka berdua.
Aku pun sekarang sering menyempatkan diri untuk pulang ke tempat tinggalku dan menemui Aditya, kami berkencan, melihat bintang di tanah lapang, bersenda gurau sampai melakukan reuni dengan teman lama bersama-sama. Aku benar-benar menjadi pria yang paling bahagia di dunia.
“Hari ini mau jalan kemana Lan.”
“Kemana aja deh terserah kamu, ke pantai juga boleh.”
“Udah malam gini ,mau lihat apaan? Nunggu penampakan ya? Hehehe…”
“Kamu tuh penampakan, suka ngusilin orang kayak tuyul.”
“Aduhh jangan gitu dong say, kita ke Bioskop gimana? Aku yang bayar kok sekarang.”
“Tumben ada duit? Ya udah yuk…”
Kami berdua meninggalkan rumahku menuju daerah yang sedikit ramai, di sana ada mal yang menyediakan Bioskop hingga kami dapat menonton layar lebar di kota kecil ini. Aditya memesan 2 karcis sementara aku membeli makanan dan minuman. Kami berdua kemudian berjalan menuju ruangan tempat diputarnya Film dan mengambil tempat duduk kami.
“Kok belakang banget Dit.”
“Kalau terlalu depan bisa encok tuh mata, di sini lebih enak.” Kata Aditya seraya menggenggam tanganku.
“Iya sih….tapi di sini jauh dari yang lain, enakan di tengah.”
“Udah telanjur Lan, di sini kan kita lebih bebas mesra-mesraan.”
“Jih dasar anak tuyul. Pikirannya kotor melulu.”
“Enggak kok say, percaya deh sama aku. Nanti itu kan gampang kalau sudah sampe rumah.” Kata Aditya sambil menggenggam tanganku erat. Aku hanya mengumbar senyum di wajahku dan memandangi layar ketika berlahan-lahan ruangan mulai menjadi gelap. Aku kemudian mencurahkan seluruh konsentrasiku pada film yang sedang di putar di hadapan kami, aku memang punya hobby menonton dari dulu.
“Eh eh Lan, ada apaan tuh di sana?”
Aku terkejut ketika tiba-tiba Aditya menepuk pundakku dan menunjukkan telunjuknya ke samping kiriku. Aku melongo tapi tidak mendapati apapun yang menurutku pantas mendapat perhatianku.
“Apaan sih Dit, gak jelas banget!” kataku berbisik karena takut mengganggu pengunjung lain sambil hendak memandang Aditya.
“…Apa nih?”
“Buat kamu say.”
Sebuah cincin perak yang dipegang di antara jari Aditya terpampang di depanku. Tidak terlalu jelas karena saat ini tempat kami duduk begitu gelap gulita.
“Ini couple ring, nandain kalau kamu itu milik aku.” Aditya meraih tangan kirikuku dan memasangkan cincin perak itu di jari manisku, senyumnya yang membuatku melayang itu membuat lidahku kelu tidak dapat mengatakan sepatah katapun.
“Aku sekarang sudah kerja Lan, ini cincin aku beli dari gaji pertamaku, kamu suka gak? Nih ada satu lagi di jariku.” Aditya menunjukkan jari-jarinya dan terlihatlah jari manisnya yang dilingkari sebuah cincin yang mirip dengan cincin yang diberikannya padaku.
“Aku suka banget Dit, makasih banyak ya…ini cincin bakal kusimpan baik-baik.” Kataku sambil memperhatikan cincin kami berdua.
“Anggap aja aku udah lamar kamu Lan, mulai sekarang aku bakal nabung semua gajiku. Setalah itu aku niat ngajak kamu ke Belanda and kita bisa married deh di sana.” Aditya tersenyum sambil memperlihatkan deretan gigi-giginya yang putih.
“Ih ini anak sudah keracunan film drama, lebay tau! Lagian sampai kapan tuh harus nabung sampai bisa ke Belanda? Belom juga biaya nikahnya?  Aku gak bakal terima lamaran kamu kalau umurku udah lewat 50 tahun ya!?”
“Gak yank gak bakal! Doain dong!” katanya sambil mencium tanganku. Aku tertawa sambil menganggukkan kepalaku ke arahnya.
Aku cintaaaa banget sama kamu Dit. Love you forever!
Hubungan kami tetap berjalan hingga lebih dari 2 tahun, hidup Aditya sekarang lebih teratur karena dia sudah mendapat pekerjaan yang layak. Ia selalu mencurahkan kasih sayangnya dengan penuh canda dan kasih sayang hingga aku tidak pernah bosan selalu berada di dekatnya. Cuma dialah orang yang bisa membuat api kebahagiaanku menjadi utuh tanpa ada ada sedikit bagianpun yang padam.

 “Wah udah sampai Lan? Keretanya gak telat ya? Ayo masuk dulu.” Ibuku mengajakku masuk ke dalam ketika aku tiba di rumah. Ia menunjukkan senyum lembutnya yang tidak pernah berubah sedikitpun. Aku duduk di meja makan dan menaruh tasku di sebelah kursi tempat aku duduk.
“Kamu agak basah, mau ganti baju dulu?”
“Gak ma udah sore, takut gak keburu.”
Ibuku menghela nafas, kemudian merogoh kantongnya dan memberiku secarik kertas.
“Ya sudah ini alamatnya, hati-hati ya…tanya saja kalau masih susah ketemunya.
Aku menganggukkan kepalaku tanpa semangat dan kembali berjalan ke luar rumah, aku memakai kembali sepatuku dan berjalan ke arah Taksi yang sudah dari tadi menungguku. Aku mengintip dari balik jendela mobil dan melambai pada ibuku yang masih berdiri di depan pintu pagar, mukanya pucat, aku tau dia sedang mengkhawatirkanku, tapi aku berusaha menunjukkan senyumku yang terbaik untuknya walau dengan penuh paksaan.
Aku langsung membayar Taksi yang menjemputku ketika kami telah sampai di tempat tujuan, hujan yang tadi menemaniku di sepanjang perjalanan sekarang sudah berhenti. Suasana menjadi sedikit lebih terang karena matahari sore sedikit demi sedikit mulai mengintip di balik awan hitam yang menipis. Aku menarik nafas panjang dan berjalan kearah seorang bapak-bapak bertubuh kurus yang duduk di sebuah gubuk kecil tidak jauh dari tempat itu. Ia menyadari kedatanganku dan menaruh gelas kopi yang diminumnya kemudian berdiri dan berjalan menghampiriku.
“Ada apa mas?” tanyanya sambil berjalan gontai.
“Bisa minta tolong antar saya ke tempat ini?”
Bapak itu mengambil secarik kertas yang kutunjukkan padanya, ia kemudian mengangguk dan memakai sendal yang ia taruh di bawah pohon tidak jauh dari situ.
“Ikut saya mas.”
Aku mengangguk pelan dan mengikuti bapak itu dari belakang, ia dengan cekatan berjalan seakan-akan dia sudah tau dengan jelas lokasi tempat yang aku cari. Mataku menerawang dengan sayu setiap nisan yang kulewati, semuanya mematung menunjukkan tempat ini seperti kota yang telah mati.
Ya…..aku berada di kompleks pemakaman.
“Itu mas, tadi pagi baru dimakamkan.” Tunjuk pria itu kearah sebuah makam yang masih baru, tanahnya merah dan masih dipenuhi banyak kelopak bunga di atasnya. Aku mendekat menuju makam itu, aku masih tidak dapat menerima kenyataan dan mencoba memastikan kabar yang aku dengar kemarin. “Aditya meninggal Lan.” Suara ibuku yang semalam memberi tahu kabar itu di telepon terus terulang seperti kaset rusak di dalam otakku.
“Pak tolong tinggalkan saya sendiri saja, saya sudah hafal jalan kembalinya.” Kataku pelan dan bapak itu pun meninggalkanku di tempat ini sendirian.
Aku memandangi makam Aditya dan mengusap papan nisan yang bertuliskan nama Aditya di sana. Air mataku mulai mengair dengan perlahan-lahan melewati pipiku dan kemudian terjatuh ke tanah. Aku sudah tidak dapat membendung kesedihan yang dari semalam kutahan, aku mulai tidak dapat menahan emosiku dan menangis meraung-raung di samping makam Aditya, aku meremas kelopak bunga yang menyelimuti makam ini dan menyandarkan wajahku di sana. Aku tidak perduli ini memalukan atau menjijikkan, aku membuang semua gengsiku tanpa terkecuali. Aditya tertidur dengan tenang di dalam sana dan aku benar-benar ingin menggali kembali kuburannya, melihat wajahnya untuk terakhir kalinya untuk seumur hidupku. Hatiku benar-benar hancur menjadi jutaan keping puing kecil.
“Mau lamar aku Dit? Mana? Sekarang kamu ninggalin aku begitu aja. Aku gak perduli suatu saat kamu jadi nikah sama aku atau enggak, yang penting kamu ada di sini, selalu sama aku saja udah buat aku jadi orang yang paling bahagia sedunia! Cepet keluar dari situ!!!” teriakku penuh keputusasaan dengan berlinang air mata yang mungkin lebih deras daripada hujan yang tadi membasahiku.
Aditya meninggal dunia saat dia sedang melakukan pekerjaannya, dia berkerja sebagai pekerja tambang dan mengalami kecelakaan di tempat kerja. Aditya terkubur longsor dan mengalami banyak patah tulang serta kesulitan untuk bernafas, segera dilakukan penggalian untuk menyelamatkan Aditya oleh pekerja lain dan setelah ditemukan Aditya langsung dibawa ke rumah sakit terdekat. Namun setelah perjuangan selama 2 jam yang berat Aditya tidak sanggup untuk menahan lebih lama lagi luka di sekujur tubuhnya, ia pun menghembuskan nafas terakhir yang dimilikinya karena gagal untuk menpertahankan hidup yang dia miliki. Aku benar- benar terkejut mendengar berita itu, aku tidak percaya dan tidak akan percaya sampai aku melihat sendiri kalau Aditya sudah benar-benar meninggal dunia. Kakiku lemas dan aku langsung terjatuh dan bertumpu di kedua lututku, itu artinya mulai sekarang aku harus melanjutkan hidupku tanpa kehadiran Aditya di sampingku, aku harus hidup tanpa separuh jiwa ataupun ragaku. Aku sudah berfikir bahwa aku adalah pria yang paling bahagia di dunia, aku hanya dapat merasakannya sesaat dan kini semuanya menghilang dengan bekas luka yang akan tertoreh di hatiku untuk seumur hidup.
Aditya…..jika aku berharap dapat melihatmu untuk yang terakhir kalinya, akankah kau mendengarku dari tempat yang tidak aku ketahui di mana sekarang kamu berada?

Aku merasakan belaian lembut di pipiku dan dengan berat aku membuka kedua mataku, samar-samar terlihat bayangan ibuku yang duduk dengan cemas sambil berusaha membuat tempatku tidur senyaman mungkin.
“Ma…”
“Kamu sudah sadar Lan? Syukur deh…” ibuku dengan lega kembali mengusap wajahku yang tampak pucat.
Aku melirikkan mataku dan menyisir setiap sudut di kamar tempat aku tidur.
“Aditya…” tanyaku lemah dengan sedikit senyuman yang terpampang di wajahku, aku berharap jika kematian Aditya adalah mimpi buruk dari tidurku saat ini, ini semua hanya kebohongan yang sama sekali tidak benar. Tapi semangatku kembali memudar ketika ibuku hanya menggelengkan kepala.
“Kamu pingsan waktu menjenguk makam Aditya, tadi ada bapak-bapak yang ngabarin jadi mama langsung buru-buru jemput kamu.”
Aku memandangi wajah ibuku dengan hampa, tanganku tiba-tiba bergetar dengan kencang di genggamannya. Tolong berbohonglah sedikit ma…aku masih tidak kuat menerima ini semua, setidaknya biarkan aku merasa sedikit senang dengan mengatakan kematian Aditya itu cuma bohong. Tidak ada satupun orang yang hilang dalam kehidupanku. Dia masih ada di sini dan akan mengatakan hal-hal aneh yang membuatku selalu tersenyum setiap harinya.
Ibuku hanya diam melihat reaksi yang kubuat. Beliau kemudian menghapus air mata yang mulai kembali mengalir di sela-sela mataku, ia kemudian memelukku dan mencoba utuk menenagkanku.
“Aditya selalu di sini Lan, dia akan selau tinggal di hati kita semua.”

Aku menghabiskan waktuku untuk berkunjung ke rumah Aditya keesokan harinya, keluarganya pun masih begitu terpukul hingga neneknya belum bisa menghentikan kesedihannya sama sekali sejak kematian cucu satu-satunya yang begitu ia sayangi itu. Aku mengerti betul apa yang beliau rasakan.
“Nenek pikir kalau nenek pasti mati lebih dulu daripada Aditya, hidup anak itu harusnya bisa lebih panjang lagi.” kata beliau sambil mengusap air matanya yang tidak juga berhenti dari matanya yang sudah memerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © Cinta Kasih Sesama Urang-kurai